CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 14 Januari 2009

perempuan penulis puisi

Perempuan penyair Indonesia dilihat dari segi kuantitas dan kualitas sangat sedikit dibandingkan dengan laki-laki penyair. Beberapa perempuan penyair seperti Toety Heraty, St. Nuraini, S. Rukiah dan Isma Sawitri, karya-karya mereka kini sudak tak pernah terlihat lagi. Apa masalahnya? Padahal kekuatan rasa perempuan lebih tinggi dan mendalam dari laki-laki, jika mulanya kekuatan puisi adalah rasa sebelum kata.

Kompleksitas rasa pada perempuan memiliki daya menggugah yang cukup kuat untuk menulis puisi. Perasaan pada perempuan begitu dalam. Oleh karena itu potensi perempuan menulis puisi kemungkinan dapat melebihi laki-laki. Perempuan mengubah kekuatan perasaannya membentuk aksara di atas kertas, membuat kata menjadi bermakna, menjadikan imajinasi penuh rasa, dan menangkap realitas dengan perasaan yang dalam menjadi puisi yang terurai dan berkembang.
Biasanya, perempuan menulis keluh-kesahnya dalam sebuah diary. Keluh kesah pribadi, sosial, dan kegelisahan akan kehidupan. Secara sengaja maupun tak sengaja perempuan mengonstruksi realitas dan pengalamannya menjadi kata-kata puitis. Puisi bukan hanya keluh-kesah yang melepaskannya cukup melalui kata-kata yang indah. Puisi seharusnya memiliki pengetahuan kelir belakang kemasyarakatan dan kesejarahan (HB.Yassin, 1993). Akan tetapi, kekuatan perempuan pada kelembutannya dapat menggetarkan bahkan menanamkan makna kedamaian dalam sajak-sajaknya.
Selama ini perempuan sering menjadi objek (penderita) bagi laki-laki penyair bukan sebagai subjek (pengarang). Jarang sekali penyair (laki-laki) tak menuangkan perihal perempuan dalam kumpulan puisi-puisinya. Seluk-beluk perempuan menjadi penghibur, penyedap rasa, dan pendukung makna bagi laki-laki penyair. Pengarang dan teks (puisi) sulit untuk dilepaskan dalam menciptakan puisi. Imajinasi dan inspirasi dari segala yang ada pada perempuan dapat membuat teks puisi menjadi romantis, platonis dan sulit terkadang pesimisitis. Menafikan peran pengarang laki-laki dalam teks puisi yang objeknya perempuan tak dapat dipungkiri. Karena dalam puisi yang menceritakan tentang seseorang (perempuan) hakikatnya mencoba untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada dalam dirinya sendiri. Lantas apakah perempuan selalu akan menjadi objek dari laki-laki penyair?

Feminisme
Wacana feminisme dan gender telah merambat hampir semua bidang; politik, ekonom, sosial, budaya dan sebagainya. Persoalan peran perempuan mulai banyak diperdebatkan sejak munculnya gerakan feminisme pada pertengahan tahun 60-an. Feminisme pada dasarnya muncul sebagai gerakan dengan tujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar sama dengan laki-laki. Hak-hak dalam segala bidang kehidupan. Feminisme ini kemudian melahirkan apa yang disebut ”gender”, sebuah diskursus yang membedakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin (Said Ramadhan, 2004). Berakitan dengan itu, permasalahan mengenai peran perempuan penyair dalam hal itu memang agak rumit tetapi menarik untuk dikaji.
Isu tentang peran perempuan yang muncul dewasa ini, terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia berkaitan dengan feminisme dan gender. Dalam menciptakan puisi, perempuan penyair tidak perlu bersusah payah untuk mempersoalkan dikotomi peran perempuan mengenai hak dan kewajibannya di sektor domestik (rumah tangga) atau di sektor publik (berkarier) dengan laki-laki. Tetapi yang lebih penting adalah berkarya dalam menemukan makna dan mencari nilai artistik pada puisi, misalnya mengungkap persoalan feminisme dan gender.
Memang tidak hanya berupa puisi ruang aktualisasi perempuan untuk menorehkan keluh-kesahnya dalam bidang sastra. Menulis cerita pendek dan novel merupakan keluh-kesah yang laris pada pengarang perempuan saat ini. Apresiasi sastra berupa novel dan cerita pendek menjadi marketable bagi pengarang perempuan. Berbeda dengan puisi, belum memasar seperti cerpen dan novel, jika tak mau dibilang tidak. Persoalannya terletak pada berani tidaknya perempuan, meminjam istilah Sapardi Djoko Darmono - memamerkan perasaannya pada khalayak ramai—baik antologi puisi sendiri maupun antologi puisi bersama.
Selain itu, para perempuan penyair belum memiliki ikon perempuan penyair yang patut dibanggakan. Mereka selalu merujuk pada Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri dan penyair besar laki-laki lainnya. Sejatinya, perempuan bebas menentukan ke mana arah kekuatan puisi-puisinya dan menampilkan sebuah kekhasan puitik yang dapat merebut perhatian khalayak penyair dan peminat sastra. Lebih dari itu, harapan untuk menemukan ikon perempuan penyair di Indonesia kemungkinan dapat terwujud.

Penyair Muda
Sekarang ini beberapa perempuan penyair mulai menjajaki potensi kepenyairan dengan tampilnya penyair muda yang perempuan. Beberapa nama perempuan penyair yang telah cukup mencuat akhir-akhir ini seperti: Dorothea Rosa Herliany, Oka Rusmini, Ulfatin Ch, dan Abidah El Khalieky. Karya-karya mereka telah mendapat perhatian dari beberapa penyair besar Indonesia walaupun semuanya laki-laki. Tetapi secara umum, karya-karya perempuan penyair belum memenuhi kuantitas dan kualitas yang lebih jika dibandingkan dengan laki-laki penyair.
Namun, eksperimentasi estetik perempuan melalui karya sastra seperti puisi memang tak mudah lepas dari laki-laki. Menurut Agus S. Sarjono (Panorama Nusantara, 1997), dalam hal ini menyebutkan bahwa semua eksperimentasi estetik telah dilakukan oleh generasi 60-an dan kian matang pada generasi 70-an yang menghasilkan sastrawan-sastrawan (laki-laki) yang mantap secara literer, seperti Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Darmono, dan Abdul Hadi WM. Semua latar belakang inilah yang kemudian menjadi latar bagi kelahiran generasi 80-an dan generasi 90-an dalam sastra Indonesia. Agus S. Sarjono memang tidak menyebutkan masalah tentang laki-laki penyair dan perempuan penyair. Tetapi, pada kenyataannya dari angkatan 60-an sampai 90-an laki-laki penyair mendominasi khazanah kesusastraan Indonesia..
Oleh karena itu, demi mengembangkan budaya menulis puisi pada perempuan, hendaknya sarana aktualisasi dan ruang gagasannya tidak lagi ”dihantui” oleh kebesaran laki-laki penyair. Bukan lagi saatnya laki-laki menciptakan ”dewa-dewa” dan perempuan menyembahnya. Tetapi perempuan lebih memacu diri untuk mencari alternatif bagi perkembangan diri, perkembangan puisi, dan perkembangan kesusastraan Indonesia pada umumnya. Perempuan menulis puisi tak harus selalu bergantung pada laki-laki penyair. Dan, tak ada salahnya jika kita berharap kepada perempuan untuk menulis puisi.***

Penulis adalah Penyair,

0 komentar: